Bintang Redup is Sunset
Bintang Redup is
|
SUNSET
Waktu
paling membosankan datang menjelang.
Pensiun dari semua kegiatan organisasi karena usia. Mahasiswa tingkat akhir sebagai
gelar penjelas dari pertanyaan kevakuman. Menyandang status sebagai mahasiswa
tingkat akhir artinya adalah sibuk tidak menentu, jadwal kuliah sudah ada namun
setiap hari harus datang ke kampus, absen wajah kepada pembinbing mutlak
dilakoni untuk sekedar berbasa-basi supaya tidak dicap mahasiswa basi. Kegiatan
selanjutnya adalah bengong melihat lalu lalang anak baru dan nongkrong di kafe
sambil ketawa-ketiwi dengan teman-teman
satu angkatan.
Hari ini tepat seminggu aku di
pensiunkan oleh generasi baru yang mulai menjabat. Kehidupanku tidak menentu,
meski fokus utama adalah penelitian. Namun hidupku yang sudah terbiasa menjalani
segudang aktifitas kampus saat ini
terpaksa harus duduk manis sambil makan cemilan. Kehidupan normal yang terbiasa
aku lakoni adalah kuliah dengan 18 SKS, mengurus banyak masalah mahasiswa, begadang
menyelesaikan tugas dan deadline program
plus waktu rapat yang kadang tidak
berujung dan tentu saja juga mengerjakan
tugas akhir untuk bisa menyandang gelar sarjana. Mengerjakan semuanya sekaligus jauh lebih
menyenangkan dan membuat aku bersemangat
penuh.
Kondisi
saat mengharuskan aku fokus pada penelitian. Aku terperangkap pada ketidak
nyaman suasana hidup yang berakibat aku tidak tahu dari mana memulainya.
Aku
seperti kehilangan energi sebelum melakukan apapun. Susana kafe masih sangat
ramai, karena saat ini jam makan siang.
Aku terkulai lesu duduk di meja tengah, merebahkan
kepala di meja dan memejamkan mata. aku mencoba menikmati bisingnya suara
disekelilingku. Tiba-tiba suara Bintang membuat aku terbangun.
“D.
kamu kenapa?” pertanyaan itu menjadi salam pembukanya sebelum dia duduk tepat di
hadapanku. Aku manarik nafas panjang sebelum menjawab
“Galau
ni, nggak ada yang bisa dikerjakan”
jawaban singkatku membuat Bintang tersenyum mengejek.
“Dasar
kamu, cewek itu biasanya galau karena urusan cowok, bukan karena nggak ada kerjaan”
“Kamu
kayak baru kenal Dylan kemaren saja. Dylan itu kan memang aneh, kamu baru
tahu?” Suara Dani yang datang kemudian membuat suasana semakin rame. Aku
menatap tajam Dani karena tidak terima
dengan komentar yang dia lontarkan tentangku, bukannya merasa bersalah Dani
malahan membalas dengan menatapku lebih tajam.
“Kamu
itu harusnya bershukur, saat seperti ini situasi tebaik adalah kita lepas dari
kegiatan organisasi, supaya kita bisa fokus pada penelitian dan tamat tepat
waktu” Tambah Dani yang akhirnya menenangkan kemarahanku. Dani memang sering
melontarkan kalimat-kalimat jahat, namun dia sosok yang pandai berkilah
dengan tepat hingga sulit untuk terus marah padanya.
“Wah
tumben kamu bijaksana”
“Aku
dari dulu sudah bijaksana, kamu saja yang nggak
tahu”
“Benar
sich, ini waktu yang tepat
untuk fokus pada penelitian. Tapi, menurut aku ada tiga kriteria mahasiswa
secara umum. Pertama mahasiswa biasa saja kemudian mahasiswa hebat dan
mahasiswa hebat banget. Nah aku
terangin ya satu-satu. Mahasiswa biasa saja itu, adalah mahasiswa yang nggak aktif organisasi dan tamat tepat
waktu. Kemudian mahasiswa hebat adalah mahasiswa yang aktif organisasi tapi
tamatnya lama itu tergolong hebat dan jika mahasiwa itu aktif dan tamat tepat
waktu itu baru hebat banget. Aku sich
maunya jadi mahasiswa golongan hebat banget. Bagaimana menurut kalian” Aku
mencoba mengungkapkan sebuah pemikiran
kreatif pada Dani dan Bintang.
“Setuju”
Dani meng-iyakan pemikiranku, dan Bintang juga terlihat setuju, terlihat dari ekpresi
menganggukkan kepala secara berulang-ulang.
“Nah, sekarang kita yang tentukan mau
jadi golongan mahasiswa yang mana?” tambahku sembari melirik Dani dan Bintang.
“Sangat
hebat tentunya! Dan kita harus tamat semester ini?” jawab Bintang tegas. Bintang
selalu menjadi sumber energi cadangan, dia selalu menjadi petujuk di saat aku
tersesat, bahkan pengaruh dari semangatnya untuk tamat semester ini mampu dia tularkan
kepadaku. Sejak perbincangan di kafe itu aku benar-benar bertekat bulat untuk
tamat semester ini.
Hari
– hari yang melelahkan pikiran. Aku jalani dengan energi cadangan dari Bintang selama
lebih kurang tiga bulan. Berkutat dengan alat-alat laboratorium dan ruangan
pengap yang hanya terdengar suara jangkrik. Internsitas pertemuanku dengan Bintang
dan Danipun sangat bekurang dan kondisi tersebut membuat aku menyadari betapa
aku merindukan mereka. Hingga datang suatu hari dimana Bintang keluar kota
selama satu minggu untuk mengurus urusan keluarganya pada hari ke -3 kepergiannya
aku merasa sangat merindukannya, anehnya rasa itu hanya tertuju pada sosok
Bintang, sementara kerindukaan pada dua sahabatku lainnya Dani dan Sasi tidak
sekuat itu. Saat sudah tidak tertahankan air mata adalah obat pelampiasan
paling manjur. Aku duduk tersudut di sudut ruangan lab dan terus berucap pelan
namanya. “Bintang. Aku ingin kamu disni saat ini. Tuhan jika Bintang
mampu merasakan perasaan yang begitu
dalam ini, aku mohon beritahu dia dengan cara yang tidak
menyakitkan, supaya dia baik-baik saja hingga waktunya kami kembali di
pertemukan.
Kesalahan satu-satunya adalah
rasa rindu ini hanya tertuju begitu kuat kepada Bintang. Jika rasa ini juga
kuat untuk Dani, Surya dan sasi mungkin tidak akan terlalu menyesakkan seperti
ini. Selain harus menahan untuk tidak menunjukan rasa, aku juga harus melawan
suara hati terdalam bahwa cinta yang kami miliki hanyalah sebatas cinta kasih
dalam hubungan persahabatan, tidak boleh lebih dari itu.
Perjalanan
kami berlima menyita waktu selama hampir 4 tahun. Kami Sudah sangat memahami
satu sama lain. Aku tidak boleh merusak persahabatan ini hanya karena rasa yang
muncul sesaat. Meski rasa yang sama nyata diakui Bintang beberapa bulan yang
lalu.
Aku
berusaha untuk tidak menanggapinya serius karena bagaimanapun hubungan sepasang
kekasih yang berawal dari persahabatan akan sulit untuk dijalani. Meski
sebagian orang berpendapat sebaliknya, namun aku lebih memilih pada pendapat
pertama.
Malam
ini terlalu terang untuk dapat melihat bintang redup. Bintang terang menutup cahaya sang bintang redup, Bulan
seakan kompak, cahayanya semakin menyilaukan mata. Cerah itulah ungkapan biasa
yang terlontar untuk kondisi ini dan terus terang, aku sangat tidak suka dengan
kondisi ini. Lagi akhirnya Bintang menjadi pencair kebekuan hati. Tiba-tiba dia
mengirimiku pesan.
“Dylan, malam ini cerah banget. Kita keluar youk. Sama
yang lain juga. Kebetulan aku lagi suntuk banget dan kita sudah lama kan nggak
ngumpul-ngmpul. Yang lain sudah pada stanby ni, kamu kami jemput dimana?”
Isi
pesan dari Bintang merusak suasana kesalku. Jalan-jalan dengan Dani, Surya dan
Sasi adalah sesuatu yang sangat mendamaikan hati selain menengadah ke langit di malam berawan untuk
menikmati bintang redup. Berkumpul bersama sahabat adalah cara terbaik untuk
bisa tertawa lepas. Perjalanan pertemanan kami sangat berliku, segala duka, tangis dan tawa
sudah kami alami hingga detik ini kami diibaratkan pantai dan lautan,
menyatu dan saling melengkapi.
“Wah boleh juga tu. Okey aku tunggu depan kosan ya” Dengan
wajah ceria aku menanti mereka menjemputku.
“D”
Aku tidak yakin, namun suara sapaan yang
baru saja ku dengar sangat mirip dengan suara Dana. Aku mencoba mencari sumber
suara dan betapa mengagetkan sekali ternyata benar. Aku seperti mayat hidup, mematung dan mulai pucat.
“Ya
tuhan ini kejutan atau shock terapi?”
aku bertanya pada jiwaku. Aku mulai
sangat tidak nyaman. Keringat dingin bermunculan dari pori-pori kulitku. Aku
tidak berani menjawab panggilannya dan dia mulai mendekat. Namun saat dia sudah
semakin dekat dan aku sudah sangat gemetaran, akhirya Bintang dan teman-teman
lainnya muncul. Mobil mereka menghalangi jalan Dana untuk mendekatiku. Aku seperti anak SD yang lari karena di suruh
piket kelas mendadak oleh guru. Aku tidak berani melihat kearah suara yang memanggilku. Aku bergegas
naik mobil. Dan melihat expresi wajah kecewa Dana dari kaca jendela mobil yang
tertutup rapat. Aku menarik nafas panjang hingga mengusik teman temanku.
“D.. ada apa dengan tarikan nafas panjang
barusan?” tanya Sasi
langusng menyadarkanku akan situasi di dalam mobil. Teman-teman yang lain
memperhatikan aku seolah-olah ada yang sangat janggal dengan diriku malam itu.
“Hai..
biasa saja, aku nggak apa-apa. cuman menarik nafas apa yang harus di bahas
sich” kilahku mencoba menyembunyikan sesuatu
“No..no..
oh iya. sepertinya tadi itu Dana bukan?. Aku melihat orang mirip Dana tadi. Oh
my God kamu ketemu sama Dana lagi? Ya tuhan Dylan...” Sasi bereaksi berlebihan
dan menerangkan situasi yang sebenarnya. Aku hanya menarik nafas panjang lagi
berulang-ulang dan semakin sangat tertekan dengan pertanyaan Sasi.
Aku menutup wajah dengan kesepuluh jariku dan
menunduk lama. Sasi mulai memeluk dan menenangkanku dan Bintang terlihat mulai
sangat terganggu dengan suasana yang aku timbulkan.
“Ada
apa sebenarnya, kita jalan-jalan malam ini untuk bersenang-senangkan? Kenapa suasananya jadi menyedihkan
seperti ini?” Bintang tiba-tiba menepi dan keluar dari mobil, sepertinya dia
kesal dengan suasana yang aku munculkan. Aku mulai merasa bersalah. aku tidak
pernah ingin melakukan ini. Semuanya di luar kehendak. Dana selalu menguras
emosi dan menyesakkan dada, meski aku memilih untuk tidak menemuinya tetap saja
dia membuat aku menangis untuk pertama kalinya
di depan teman-temanku.
Dani
menarikku keluar dari mobil dan
menempatkanku di tengah-tengah lingkaran. Aku tidak tahu apa yang mereka akan
lakuan, yang pasti akan ada pertanyaan-pertanyaan yang harus aku jawab satu
persatu. Inilah yang kami sebut lingkaran kejujuran. Setiap ada masalah dengan
salah satu dari kami, yang lain akan membantu memecahkan dengan saling berbagi
masalah dan
mencari solusi.
“Oke..
Dylan aku akan mulai pertanyaan yang pertama dan tolong berhenti menangis
seperti itu. Kalau mau menangis yang benar jangan seperti orang keselet
makanan” Dani memulainya dengan peringatan dan perintah. Aku mencoba menengadahkan
dagu dan menatap Dani dengan senyuman
keterpaksaan.
“Siapa
Dana dan apa masalah yang dia timbulkan?” pertanyaan Dani terlontar sangat
tajam. Aku masih berusaha mengatur emosi dan nafas supaya bisa menjawab dengan
tenang tanpa rengekan
“Dana.
Itu tentang masa lalu. Dia cinta pertama yang begitu bermakna, namun
menyakitkan. Dana itu semangat hidup sekaligus bomerang hidupku. Dia belenggu dan
pengganggu. Aku ingin berhenti dengan kerumitan seorang Dana namun belum berhasil,
mungkin itu” jawabku dengan kata-kata sastrawan namun penuh keseriusan
“Bodoh”
teriak Surya yang dari tadi diam, namun tiba-tiba menjadi sangat marah. Surya menghampiriku
lebih dekat dan Sasi mencoba untuk
menghalanginya karena takut aku juga akan terpancing emosi dan terjadi pertengkarang
diantara kami.
“kamu
begini gara-gara cowok?. Ternyata aku sudah salah menilai seorang Dylan. Aku pikir, Dylan adalah cewek yang cerdas
ketika berurusan dengan urusan hati, eh ternyata bodoh begini. Aku kecewa sama
kamu!” tuturnya panjang dan lantang. Surya memang tipe yang mudah naik darah.
“Surya
apa-apa-an sich?” bela Sasi. Aku menatap tajam Surya dan berjalan mendekatinya.
Sasi makin berusaha menengahi kami.
“nggak usah terlalu di paksain dunk marahya! Ya aku sich terserah ya, kalian mau mencap apa, bagiku Dana tidak
hanya sekedar masalah namun juga guru kehidupan. Dalam kerumitan emosi yang dia
munculkan aku belajar banyak hal. Aku
tidak masalah dengan kondisi ini. Aku yakin waktu akan membantu, buktinya hari
ini aku bertemu dia lagi setelah sekian lama tidak bertemu”
“Tapi
kamu memilih kabur?” Bintang mulai berkomentar. Aku terdiam karena tidak mapu
menemukan jawaban untuk pertanyaan bintang.
“Kita
selalu seperti ini dan selalu menemukan solusi, nah jadi menurut aku kita jangan saling menghujad tapi menemukan
solusinya. Dylan kamu masih mencintainya?” Bintang mengajukan pertanyaan yang
semakin berat untuk dijawab
“Cinta. Ya. Mungkin masih, cuman tidak sekuat
sebelumnya dan kemauan untuk mengakhiri rasa cinta lebih kuat sepertinya” terdiam sejenak.
“Aku pikir masalah aku dan Dana lebih baik
diselesaikan secara natural. Dana sama halnya seperti bintang redup, dan
bintang redup itu hanya bisa muncul ketika malam tidak cerah. Nah contoh
nyatanya malam ini. Sebelum pergi aku kesal banget karena malam ini cerah.
Namun tiba-tiba kalian muncul dan menghapus semua kekesalanku” lanjut Sembari
tersenyum dan menatap sahabatnya satu persatu.
“Situasinya sama seperti kalian dan Dana di
dalam hidupku. Kalian adalah bintang terang yang aku miliki. Bintang terang
yang juga sangat mendamaikan hati. Jika
kalian terus bersamaku, bintang redup sudah tidak menjadi masalah” aku mulai berkilah dengan perumpamaan dan mulai menebar
senyum untuk mengakhiri susana dingin yang ditimbulkan Dana.
Dana
itu seperti Bintang yang suka aku pandangi di malam hari. Dia bintang terjauh
yang bercahaya redup dan hanya terlihat ketika malam sudah menjadi gelab dan ketika malam sangat
cerah dia tidak akan muncul karena cahaya terang bintang lain menutupinya.
Meskipun aku tidak menyukai kondisi langit penuh dengan bintang terang, namun
aku menyukai bintang terang yang ada di bumi. Sahabatku adalah bintang terangku
di bumi dan aku menyukai mereka.
“Sampai
kapan kamu bertahan dengan pemahaman seperti itu. Menurutku kamu harus mulai
membuka mata untuk bintang lain yang lebih terang. Jika bintang redup itu
adalah sunset mungkin
kamu akan lebih mudah untuk mengatasi tekanan kesedihan. Karena sunset meskipun
selalu redup bahkan menghiliang dia tetap membuat banyak orang tersenyum.
Sunset selalu muncul dengan indahnya cahaya di langit. saat kepergiannyapun dia
mengukir warna begitu indah dan satu hal lagi,
ketika sunset hilang, Bintang-bintang terang akan menggantikannya dan sunset juga membawa harapan pasti
kalau dia akan ada esok hari untuk kamu.
Nah sekarang kamu memilih terus berdalih dengan bintang terang?
atau memilih tetap pada bintang redup namun bintang redup kamu mulai besok
adalah sunset” aku mencerna setiap kalimat yang baru saja diucapkan Bintang. Matahari adalah
bintang yang paling terang dan akan meredup ketika sore dan akan muncul lagi di
hari berikutnya dengan sangat terang.
Jika
bintang redup adalah sunset maka aku tidak akan pernah terlalu sedih karena dia
menghilang. Besok
hari akan ada sunset lagi, lagi dan lagi. Dan di setiap sunset akan ada
kecerian dan harapan. Di setiap sunset akan ada warna-warna indah yang membuat hati
damai. Setelah sunset akan ada malam yang menghadirkan bintang-bintang
terang. Sunset adalah bintang terang
yang berubah menjadi redup karena waktu dan aku hanya butuh beberapa waktu
untuk kembali dan kembali menyaksikan keindahannya lagi dan lagi setiap hari.
“Aku
akan coba lebih memahami filososi sunset Bin” jawabku singkat kemudian aku
berdiri dan menerobos lingkaran kejujuran. Menebar senyum dan menaiki
mobil.
“Teman-teman,
ayo kita bersenang-senang. Kalian memang yang terbaik. Dan maaf selama ini menyimpan
Dana. Ya aku berpikir Dana adalah kehidupanku sebelumnya dan aku tidak mau dia juga ada di masa sekarang. Kalian
adalah kehidupanku saat ini. Jadi aku memilih meyelesaikannya sendirian tanpa
kalian. Karena aku yakin akan jauh lebih
kuat jika mampu bertahan di atas pijakan ku sendiri dan untuk seorang Dana aku
yakin waktu lah satu-satunya obat dan
waktu bersama kalian adalah waktu yang paling berharga dan sangat membantu aku
untuk bisa lebih mengerti
arti sebuah makna. Terima kasih atas lingkaran kejujuran malam ini dan mohon
maaf jika membuat kalian sedikit kwatir” Sasi menghampiriku dan memelukku
dengan sangat erat. Satu persatu ekpresi sahabatku berubah menjadi begitu lega.
Surya sudah tidak lagi marah, Dani menjadi sangat ceria dan bintang dengan gaya
bijaksananya hanya menebar aura baiknya pada alam. Dia terlihat begitu menyilaukan,
namun hati dalam kehancuran terdalam
tetap tidak ingin membuat dia menjadi perekat sebagai penyatu kepingan hati
yang sudah hancur. Aku memilih menatap dia sebagai sahabat bukan sebagai
pengganti pemicu debaran hati setidaknya hingga malam ini berkakhir hingga aku
mengerti makna bahwa bintang redup itu adalah sunset.
Komentar
Posting Komentar
Nah, setelah membaca ingin menyampaikan sesuatu dunk, silahkan !! dan terima kasih sebelumnya :)